Oleh: Johannes Supriyono*)
Foto Dok. GPM 2013: Salah Satu Murid Gerakan Papua Mengajar di Buper sedang Belajar
Kata Francis Bacon, “Knowledge is power”.
Pengetahuan adalah kekuasaan. Artinya, pengetahuan mendorong orang untuk bisa
berkuasa sehingga mampu menentukan dirinya. Atau, sekurang-kurangnya ia tidak
sepenuhnya di bawah dominasi orang lain. Bisa juga berarti, orang yang
berpengetahuan berkesempatan menguasai orang lain. Mereka yang memiliki
pengetahuan dapat menaklukan orang lain, bahkan menentukan hidup matinya
orang-orang tersebut. Bisa juga dibaca secara negatif bahwa orang yang tidak
berpengetahuan cenderung tidak berkuasa sehingga mudah dikendalikan oleh orang
lain.
Untuk konteks Papua, ungkapan
sederhana dari Francis Bacon menyiratkan imperatif yang tegas. Bunyinya
demikian, “Berilah orang-orang Papua pengetahuan, agar mereka memiliki
kekuasaan!”
Imperatif ini secara praktis
berangkat dari keprihatinan yang sangat mendasar pula. Pendidikan di Papua
belum sepenuhnya memberdayakan anak-anak. Malah, sangat mungkin mereka
diperdaya atau ditipu oleh sistem pendidikan. Di masa depan, mereka mendapatkan
tanda-tanda formal sebagai orang yang pernah masuk sekolah tetapi secara
kualitas mereka tetap tergolong tak terdidik (uneducated).
Perlu kita pikirkan
sungguh-sungguh pendidikan untuk pemberdayaan masyarakat Papua.
Masyarakat Kurang Pengetahuan
Secara konkret kualitas
pendidikan di Papua harus diakui sangat lemah. Ditilik dari ketersediaan tenaga
pendidik, fasilitas sekolah, dan budaya pendidikan, kita masih tertinggal jauh.
Sekolah-sekolah di pedalaman amat memprihatinkan. Satu sekolah ada yang
dikelola oleh satu orang saja. Ia adalah guru untuk kelas I sampai VI dan
merangkap jadi kepala sekolah. Bagaimana ia bisa mengajar baik?
Yerino mengisahkan bahwa di
SMP-nya terdapat delapan guru. Namun, ada guru-guru yang satu atau dua hari
masuk sekolah dua minggu, bahkan sampai satu bulan, mangkir. Guru-guru itu
meninggalkan tanggung jawabnya untuk santai-santai di kota. Guru yang mencoba
setia dalam keterbatasan hidup di pedalaman juga belum tentu memiliki kualitas
yang baik. “Aduh, guru bahasa Inggris saya tidak tahu bikin kalimat,”
ungkapnya.
Ratapan serupa muncul dalam karya
tulis seorang siswa. Yosepina berkisah bagaimana di pedalaman tidak ada
perpustakaan yang merangsang minat anak-anak untuk mengetahui dunia luar.
Guru-guru sering meninggalkan tanggung jawab dan baru muncul beberapa hari
menjelang ujian. Proses belajar mengajar tidak berjalan dengan baik. Anak-anak
lebih banyak berkeliaran di jalan-jalan.
Apakah akibatnya? Masyarakat
miskin pengetahuan. Konsekuensi dari kemiskinan ini amat mengerikan.
Pertama, ketika akal budi
tidak diberi banyak ruang untuk berkembang, rasionalitas dikebawahkan. Orang
lebih banyak dikendalikan oleh dorongan insting dari pada pertimbangan akal
budi. Luapan-luapan insting itu muncul dalam bentuk-bentuk kekerasan dan
ketidakteraturan sosial yang lain. Pengendalian sosial menjadi proses yang
represif, lebih banyak berupa tekanan daripada persuasif atau ajakan.
Perilaku sosial yang didominasi
oleh insting adalah kemalasan berpikir. Gejala-gejala masyarakat yang malas
berpikir antara lain kekurangsadaran akan masalah-masalah sosial yang membelit.
Selain itu, masyarakat cenderung mencari jalan pintas dalam menyelesaikan
masalah dan cenderung tidak mampu menunda pelampiasan marah, kecewa, dan
depresi. Kondisi ini kondusif untuk menimbulkan konflik fisik. Maka, jangan
biarkan insting ini mengambil alih rasionalitas!
Kedua, dalam satu
kerangka dengan yang pertama, nilai-nilai sosial tidak tertanam dengan baik.
Pendidikan adalah salah satu lembaga sosialisasi yang cukup penting. Di
sekolah, jika diselenggarakan secara benar dengan cita-cita yang baik,
individu-individu diperkenalkan pada nilai-nilai dan dilatih menerapkannya
secara praktis. Lewat pendidikan anak-anak dibekali dengan cakrawala nilai yang
luas.
Kemiskinan pengetahuan, di
dalamnya termasuk pengetahuan akan nilai-nilai, mendorong masyarakat untuk
mengikuti nilai mereka masing-masing. Pengendalian sosial menjadi sangat sulit
dilakukan karena masyarakat cenderung menjadi kawanan binatang liar. Cara-cara
yang represif menjadi cara yang paling efektif akibatnya. Kebutuhan kita akan
polisi bisa-bisa meningkat berlipat ganda. Selain itu, tampaknya akan semakin
banyak penjara kita bangun di masa depan seandainya kebobrokan pendidikan kita
tidak diakhiri.
Ketiga, yang akan terjadi
adalah knowledge gap atau kesenjangan pengetahuan antara lapisan atas, yakni
pemilik pengetahuan, dengan lapisan bawah. Knowledge gap ini membuat kekuasaan
politis tersentralisasi pada sekelompok elit saja. Diskursus masyarakat hanya
terjadi di sekitar pemilik pengetahuan. Dengan lain kata, partisipasi publik
yang lebih luas dalam proses pengambilan keputusan menjadi impian belaka. Kalau
pun publik ingin mencoba terlibat, cara-cara mereka menjadi di luar jalur hukum
dan mudah ditaklukkan. Ingat, polisi atau militer akan makin banyak dibutuhkan.
Publik akan menjadi gerombolan
massa tanpa identitas atau kerumunan. Siapa yang bisa membajak
sentimen-sentimen mereka dapat menggunakan mereka sebagai kendaraan untuk
meraih pucuk kekuasaan atau untuk membinasakan gerombolan yang lain. Mereka
bisa saja sekadar dipakai untuk melegitimasi kekuasaan!
Keempat, civil society
tidak akan terbentuk. Masyarakat demokratis yang diidam-idamkan belum akan
menjadi kenyataan. Demokrasi bukan hanya masalah prosedur tetapi secara
substansial mensyaratkan rasionalitas masyarakat. Rasionalitas terbangun oleh
budaya pendidikan yang kuat. Tanpa rasionalitas, demokrasi akan menjadi proses
meraih kekuasaan dengan cara-cara yang menjijikan dan tidak manusiawi.
Masyarakat yang rasional ditandai dengan kemampuan berefleksi; menyadari
keadaannya dan mengambil keputusan-keputusan secara bijaksana.
Kelima, masyarakat yang
miskin pengetahuan, dengan demikian, tidak memiliki kedaulatan bahkan atas diri
mereka sendiri. Nasib mereka ditentukan oleh orang lain yang memiliki
pengetahuan. Kurang pengetahuan berarti kurang berdaya.
Menuju Masyarakat Berpengetahuan
Kenyataan bahwa masyarakat kita
bisa bergerak ke pendulum masyarakat tak berpengetahuan mestinya mendorong kita
berjuang ke arah sebaliknya. Pendidikan mesti kita dorong pada pemberdayaan
putra-putra Papua untuk menumbuhkembangkan kemampuan mereka berefleksi.
Artinya, mereka dilatih untuk menyadari keadaan masyarakatnya, mempertimbangkan
secara masuk akal, dan mengambil keputusan-keputusan untuk masa depan.
Tanpa pembekalan pengetahuan yang
cukup, masyarakat tidak akan mampu berpartisipasi secara politis untuk
menentukan masa depan mereka. Sejauh ini masyarakat menjadi kambing congek yang
dipakai untuk kepentingan segelintir orang. Lihat saja, apakah masyarakat mampu
mengontrol jalannya pemerintahan demi menciptakan good governance? Lihat saja,
apakah masyarakat berdaya untuk memperjuangkan hak-hak mereka sebagai warga
negara?
Langkah yang sangat praktis bisa
kita ambil. Perbaiki pendidikan kita dari tingkat dasar. Sekolah-sekolah dasar
yang ada perlu diberi perhatian lebih baik. Skandal Dana Alokasi Khusus (DAK)
cukup terjadi di Nabire saja. Dan cukup satu kali itu saja. Siapkan
tenaga-tenaga pendidik yang berkualitas.
Kiranya, kalau tidak serius
memerhatikan pendidikan kita di sini, masyarakat di masa depan akan
sungguh-sungguh menjadi kawanan binatang yang bisa sangat brutal. Maka, berilah
anak-anak kita pendidikan yang memberdayakan agar kelak mereka dapat
menyelenggarakan kehidupan yang dilandasi oleh nilai-nilai humanisme.
Knowledge is power! *)
Peminat masalah sosial, tinggal
di Papua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar